Sesosok lelaki
yang melintas di hadapanku nampak familiar...
Walaupun bukan
sosoknya sekarang yang tengah memakai kaos bergambar band rock "The Killers" dan celana
pendek kotak-kotak -eumm, let me called it checkered pants?- bertengger hanya beberapa inchi di atas pantatnya. Khas anak muda masa kini.
Ingatanku menembus rongga waktu, sayup-sayup suara kultum terdengar jelas dari toa masjid di sela-sela tarawih. Sembilan tahun
silam di daerah ini. Tepatnya di pekarangan masjid yang baru saja ku lewati, di jantung perumahan penduduk.
Dulu, bisa dibilang ia hanya bocah ingusan. Tingginya yang hanya menjulang satu kepal di atasku, mengenakan atasan koko lecek dan sarung yang dilipat asal. Matanya masih begitu lugu dan tulus, saat merangkai kata cinta untukku. Bahkan ia masih linglung menerka-nerka pantaskah yang ia rasa lantas disebut cinta?
Kini, kami hanya bisa saling curi pandang dalam remangnya malam.
Bulan pun enggan menerangi saat hujan deras berhasil mengambil jam-nya.
Tidak, bukan hanya
kali ini. Kami sama-sama tau, telah banyak curi pandang yang ku hadiahkan untuknya tiap kali
kami bertemu,belakangan ini. Mungkin ia juga begitu. Atau hanya harapku saja? Ah, tak penting lah buatku kini.
Seolah asing dan
berjarak, padahal di relung hati kami masing-masing masih melekat memori itu. Arah
tujuan kami yang berlawanan membuat jarak semakin terbentang lebar.
Hingga
sayup-sayup hanya bisa ku dengar langkah kakinya menghilang di antara rintik
hujan yang sedang ‘bernyanyi’
*Ditulis sekitar dua tahun lalu, terinspirasi dari curhat seorang sahabat