Friday, November 25, 2011

Bertandang ke Radio Legendaris yang Selalu Mengudara



(This picture was taken at another event ;P)

“Selamat siang teman-teman dari Universitas Bakrie…” sapa ibu Ersna di ruang auditorium M. Jusuf Ronodipuro Rabu (23/11) siang kepada rombongan saya dan teman-teman dari Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie yang sedang melakukan kunjungan ke RRI. Kami sempat malu ketika ditegur oleh beliau karena suara kami pelan dan tanpa semangat. Justru beliau yang sudah berumur lebih enerjik daripada kami yang rata-rata umurnya masih berkepala dua. Suaranya juga terdengar lantang di mic, “Maklum lah orang radio,” begitu komentar teman-teman.



Setelah bertegur sapa, beliau yang menjabat sebagai kepala Radio Republik Indonesia Jakarta, memberikan waktu kepada Ibu Anita dan Mas Aryo Subarkah Eddyono untuk bergantian memperkenalkan diri dan juga menjelaskan maksud kedatangan kami ke RRI.

Ibu Anita yang merupakan salah satu dosen Statistik kami langsung menuturkan bahwa kami adalah rombongan dari Universitas Bakrie yang berasal dari program Studi Ilmu Komunikasi dan sekilas tentang tujuan kedatangan “Jadi kami adalah dari Universitas Bakrie yang sekarang memiliki tujuh program studi dan salah satunya adalah Program Studi Ilmu Komunikasi yang merupakan program studi dari teman teman sekalian. Universitas Bakrie memang kerap mengadakan kunjungan-kunjungan ke Perusahaan yang biasa kita sebut Field Trip untuk melihat langsung bagaimana kondisi dunia kerja yang sesungguhnya.”

Setelah itu Ibu Ersna kembali mengambil alih perbincangan dan menuturkan sejarah berdirinya radio publik yang telah menyandang nama RRI sejak tanggal 11 Sepetember 1995 itu. Mulai dari pergantian dari radio Nippon hingga menjadi sebuah Radio Publik seperti sekarang. Ia pun membantah anggapan, RRI identik dengan radionya orang-orang jadul dan tidak cocok di telinga anak muda. “RRI telah mempunyai programa 2 yang dikhususkan untuk target pendengar anak-anak muda, di samping adanya programa 1,3, dan 4. RRI memang hadir untuk target pendengar yang luas dan beragam sesuai dengan salah satu tri prasetya RRI yaitu ‘berdiri untuk semua golongan’” ungkap beliau.

Di tengah perbincangan, hadir sosok wanita berambut pendek dengan setelan jas kremnya bergabung bersama Ibu Ersna di hadapan kami. Ternyata beliau adalah Ibu Niken Widiastuti selaku Direktur Lembaga Penyiaran Publik. Paras ayu, berwibawa dan suara yang medok namun sangat nyaman di telinga membuat saya tertarik mendengarkan penjelasan beliau terutama saat berbagi kisah mengenai radio-radio RRI yang terletak di perbatasan. Pandangan saya yang selama ini memandang RRI sebelah mata serasa perlahan-lahan mulai berubah. Kagum ketika menyimak bagaimana RRI hadir di daerah perbatasan yang terkucilkan oleh para penguasa apalagi oleh kita yang hanya penduduk biasa. Tapi mereka berani merambah daerah-daerah tersebut dan seolah menghembuskan ‘hawa’ negara Indonesia di sana.
Ibu Niken menuturkan pengalamannya secara langsung saat berkomunikasi dengan para penduduk setempat di kawasan Sebatik “Kami baru merasa merdeka setelah di dirikan RRI di Entikong penuturan miris dan mengharukan itu keluar begitu saja dari mulut mereka. Begitu juga di kawasan-kawasan perbatasan lain seperti Tarakan dan Toli-Toli.

Tidak begitu lama kemudian beliau menyampaikan permohonan maaf karena harus pamit undur diri untuk memimpin rapat internal dan mengembalikan kembali perbincangan kepada Ibu Ersna. Sepeninggal beliau, sesi tanya jawab pun dibuka. Tanya jawab tersebut sekaligus menutup perbincangan antara kami dan Ibu Ersna, saya dan teman lainnya seketika lega karena sudah menggigil menahan dinginnya ruang Auditorium. Kami semua pun bersemangat begitu tahu bahwa selanjutnya kami dipersilahkan untuk menjelajah ruang MRC dan siaran di RRI.

Bapak Mugi dan rekannya sudah siap di luar auditorium memandu kami untuk bergantian naik ke lantai 6. Banyaknya jumlah kami mengharuskan kami dipecah menjadi dua kelompok kecil. Kelompok saya kebagian memasuki ruang MRC terlebih dahulu dipimpin oleh Bapak Mugi.Di ruang MRC inilah tempat diolah semua data-data baik input maupun output. Banyak benda-benda aneh berukuran besar yang tidak familiar bagi saya serta satu alat yang agak sedikit lebih kecil karena sudah merupakan alat digital. Di baliknya, terdapat banyak sekali analog-analog yang terjejer rapi. Ada satu benda yang menarik perhatian saya di ruang MRC yang berbentuk seperti kulkas dengan pintu transparan bertuliskan ‘Radio Warning System’. Setelah bertanya pada pak Mugi, alat itu ternyata bisa mendeteksi ketika ada bencana dan secara otomatis menyiarkannya pada pendengar untuk member peringatan. Sayang, alat hasil hibah dari Rusia tersebut tidak berfungsi lagi karena tidak ada perawatan lebih lanjut yang dilakukan pihak Rusia.

Setelah bosan dan tidak tertarik melihat benda-benda aneh itu lagi, kami keluar dari ruangan MRC untuk menyambangi ruang studio siaran RRI. Dimulai dari studio programa satu, yang terletak paling ujung sebelah kiri. Sayangnya penjelajahan kami di ruang siaran programa satu hanya berlangsung singkat karena sang penyiar harus segera mengudara membawakan program berita pukul empat sore.

Beralih ke studio siaran programa 2 yang terletak di sebelahnya kami langsung di sambut oleh mas Ibas yang sangat gaul sehingga cepat melebur dengan kami. Terbukti perkataan ibu Ersna tentang programa yang memang khusus untuk anak muda ini. Saya menahan napas, karena terbawa suasana tegang saat mas Ibas harus memulai opening siaran. Namun mas Ibas yang memang sudah terbiasa mengudara dua hari sekali tampak sangat enjoy dan mampu membangun kedekatan emosional tersendiri dengan para pendengarnya. Saya tertegun kagum melihat jari-jarinya dengan piawai mengatur backsound dan memutar lagu-lagu.

Kesan yang paling mendalam selama kunjungan ke RRI juga ada di studio programa 2 saat mas Ibas menawarkan kami untuk ikut siaran secara langsung bak bintang tamu di acaranya. Rasanya agak aneh seorang saya yang setia mendengarkan radio ikut langsung mengudara dari ruang studio siaran programa 2 RRI. Kelompok kami yang kebetulan perempuan semua, heboh saat lagu usai dan Mas Ibas mengomando kami untuk menyapa para pendengar di rumah “Haaaaaai!” teriak kami berbarengan. Setelah beberapa orang dari kami menuturkan kesan-kesan berada di RRI kami pun harus bergabung dengan kelompok lainnya yang telah menunggu di luar.

Mulai hari itu, saya pun tidak lagi memandang sebelah mata sebuah radio yang memang teramat legendaris ini. Sebuah radio yang ikut menjadi saksi mata sejarah kemerdekaan dan perkembangan bangsa Indonesia. RRI mungkin bukan radio yang khusus memutar lagu-lagu hip asal luar negri ataupun radio yang gemar mengadakan acara di klub-klub bergengsi kegemaran anak muda. Namun, keteguhannya untuk bisa tetap bertahan melawan arus kompetisi yang begitu ketat, kemuliannya untuk bisa hadir bagi seluruh golongan perlu di acungi jempol. Terlintas di benak saya saat menulis artikel ini jargon RRI ‘Sekali di udara tetap mengudara….

No comments:

Post a Comment